LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN SEPSIS
I. PENGERTIAN
Sepsis adalah infeksi berat dengan gejala sistemik dan tedapat bakteri dalam darah ( Asrining, S.2003). Menurut Dona L Wong ( 2003). Sepsis adalah infeksi bakteri umum pada aliran darah. Klaus dan fonoroff ( 1998) mendefenisikan sepsis pada neonatus adalah syndrome klinik bakterimia dengan tanda dan gejala sistemik.
II PATOFISIOLOGI
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat masuk kebayi melalui beberapa cara yaitu:
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus masuk dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, hepatitis, influenza, parotitis.bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain : malaria, sifilis, dan toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks kuman naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilicus masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh bayi dan masuk ke traktus digestifus dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui area tersebut. Infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau post de entre lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman ( mis herpes gen condida albican)
3. Infeksi rasional atau sesudah persalinan
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari lingkungan diluar janin ( misal melalui alat-alat penghisap lender, selang endotrakea, infuse selang, botol minuman atau dot.
III FAKTOR PREDISPOSISI
a. Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan
b. Perawtan antenatal yang tidak memadai
c. Ibu menderita eklamsia, diabetes mellitus
d. Pertolongan persalinan ynag tidak hygiene, partus lama, partus dengan tindakan
e. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan
f. Adanya trauma jalan lahir, asfiksia nenonatus, tindakan infasif pada neonatus
g. Tidak menyiapkan rawat gabung
h. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak
i. Ketuban pecah dini, amnion hijau kental dan berbau
j. Pemberian minum menggunakan botol dan pemberian munim buatan
IV. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala sepsis unumnya tidak jelas dan tidak spesifik serta dapat mengenai beberapa system organ dan gejala sepsis:
a. Tanda dan gejala umum:
1) Hipertermia atau hipotermia atau bahkan normal
2) Aktivitas lemah atau tidak ada atau bahkan normal
3) Berat badan turun tiba-tiba
b. Tanda dan gejala beda saluran pernapasan:
1) Dipsnea
2) Takipnea
3) Apnea
4) Tampak tarikan otot nafas
5) Merintih
6) Menggorok dan cuping hidung
c. Tanda dan gejala pada system kardiovaskuler
1) Hipotensi
2) Kulit lembab
3) Pusat
4) Sianosis
d. Tanda dan gejala pada saluran cerna
1) Distensi abdomen
2) Malas atau tidak mau makan
3) Muntah
4) Diare
5) Hepatomegali
e. Tanda dan gejala pada system saraf pusat
1) Reflek moro abnormal
2) Iritabilitas
3) Kejang tremor
4) Hiporefleksi, koma, letargi
5) Nafas tidak teratur
6) Fonland anterior menonjol
f. Tanda dan gejala hematology
1) Purol
2) Ikterus
3) Ptekie
4) Purpura
5) Perdarahan
6) Splenomegali
7) Ekimosis
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk menetapkan diagnosis. Hasil pemeriksaan resistensi digunakan untuk menentukan pilihan antibiotic yang tepat. Pada hasil darah tepi umumnya ditemukan anemia, laju endap darah mikro tinggi dan trombositopenia. Hasil biakan tidak selalu positif dan biakan perlu dilakukan terhadap darah, cairan sereprospinal, usapan umbilicus, lubang hidung, pus dari konjungtiva, cairan drainase atau hasil isapan lambung, bahan biakan sebaiknya diambil sebelum bayi diberi terapi antibiotika. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan antara lain pemeriksaan protein reaktif c. IMg Ig A, pewarna gram. Selain pemeriksaan lain yang sudah disebutkan dokter mungkin akan merekomendasikan pemeriksaan lain yang diperlukan sesuai kondisi bayi.
V. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Tanda pengobatan yang memadai gangguan ini dapat meyebabkab kematian dalam waktu singkat. Oleh karena itu tindakan pencegahan mempunyai arti penting karena dapat mencegah terjadinya kesakitan dan kematian. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu :
a. Pada saat antenatal
Perawata antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.
b. Pada saat persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptic dalam arti persalina diperlukan sebagai indakan operasi. Tidakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar- benar diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan dan menghindari perlukaan dan selaput lender.
c. Sesudah persalinan
Perawatan sesudah lahir meliputi penerapan rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, mengoptimalkan lingkungan dan eralatan tetap bersih. Setiap bayi menggunakan peralatan sendiri, perwatan luka umbilikussecara steril. Tindakan infasif harus dilakukan dengan memperhatikan teknik aseptic. Semua personel yang menangani atau bertugas dikamar bayi harus sehat. Pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan tes eksistensi.
Prinsip pengobatan pada sepsis adalah mempertahankan metabolise tubuh dan memperbaiki keadaan umum dan pemberian cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi.
Dosis antibiotic untuk sepsis adalah:
1. Ampicilin 500mg/ kg BB/ hari di bagi 3 atau 4 kali pemberian
2. Gentamisin 5mg/ kg BB/ hari dibagi dalam 2 kali pemberian
3. Cloramfenicol 25 mg/ kg BB/ hari dibagi dalam 3/4 kali pemberian
4. sefalosporin 100 mg/ kg BB/ hari dibagi 2 kali pemberian
5. eritromisin 50 mg/ kg BB/ hari dibagi dalam 3 dosis.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan melalui anamnesis untuk mendapatkan data, yang perlu dikaji adalah status social ekonomi, riwayat perawatan antenatal, ada atau tidaknya ketuban pecah dini, partus/ sangat cepat. Riwayat persalinan dikamar bersalin, runag operas atau ditempat lain. Ada atau tidaknya riwayat penyakit menular seksual. Apakah selama kehamilan dan saat persalinan pernah menderita penyakit infeksi ( toksoplasmosis rubella, toksemia gravidarum, amnionitis)
Pada pemeriksaan fisik data yang akan ditemukan meliputi letargi( khususnya setelah 24 jam pertama), tidak mau minum atau reflek hisap lemah, regurgitasi, peka rangsang, pucat, hipotini dan hiporefleksi, gerakan putar mata, berat badan berkurang melebihi penurunan berat badan secara fiiologis, hipotermi, tampak ikterus. Data lain yang mungkin ditemukan adalah hipertermia, pernapasan mendengkur, bradipnea atau apnea, kulit lembab dan dingin, pucat, penggisian kembali kapiler lambat, hipotensi, dehidrasi, sianosis. Gejala traktus gastrointestinal meliputi distensi abdomen, muntah, atau diare. Pada kulit terdapat ruam, ptekie, pustule dengan lesi atau herpes..
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah kadar gula darah serum, bilirubin, protein aktif C, immunoglobulin Ig M , Hasil cultural cairan serebrospinal, darah, hapusan hidung, umbilicus, telingga, pus dari lesi feses dan urine. Juga dilakukan analisis cairan cerebrospinal dan pemeriksaan darah tepi dan leukosit.
Sabtu, 14 Maret 2009
Keperawatan Medical Surgical
LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN
CEDERA CORD SPINAL
1. PENGERTIAN
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada saraf tulang belakang yang menghasilkan kerugian atau fungsi diburukkan menyebabkan mobilitas atau mengurangi rasa.
Umum penyebab kerusakan adalah trauma (kecelakaan mobil, suara tembakan, jatuh, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll).
Saraf tulang belakang akan mengalami kegagalan fungsi. Pada kebanyakan orang dengan SCI, maka saraf tulang belakang yang utuh, tetapi kerusakan selular didalam akan berakibat hilangnya fungsi tulang
Meski yang cedera tulang tetapi tidak menutup kemungkinan saraf disekitar area injury mengalami kerusakan. Jadi orang mungkin bisa saja tidak mengalami kelumpuhan setelah tulang belakang stabil. Saraf tulang belakang yang sekitar 18 inci panjang dan meluas dari dasar otak, dikelilingi oleh badan-badan berhubung dgn tulang belakang, bawah bagian tengah belakang, untuk mengenai pinggang.
Urat saraf yang terletak di dalam saraf tulang belakang disebut atas motor neurons (UMNs) dan fungsi mereka adalah untuk membawa pesan bolak-balik dari otak ke saraf tulang belakang di sepanjang tulang belakang sistem. The saraf tulang belakang yang keluar dari cabang saraf tulang belakang ke bagian lain dari tubuh disebut rendah motor neurons (LMNs).
Saraf tulang belakang ini keluar dan masuk pada setiap tingkat berhubung dgn tulang belakang dan berkomunikasi dengan daerah-daerah tertentu dari tubuh. Sistem indra bagian dari LMN membawa pesan tentang sensasi dari kulit seperti sakit dan suhu, dan bagian tubuh lain dan organ-organ ke otak. Motor juga bagian dari LMN mengirim pesan dari otak ke berbagai bagian tubuh untuk melakukan tindakan seperti gerakan otot.
Saraf tulang belakang yang utama adalah bundel dari urat saraf yang membawa impulses ke dan dari otak ke bagian tubuh. The otak dan saraf tulang belakang merupakan Central Nervous System. Indra Motor dan saraf di luar sistem saraf pusat merupakan Peripheral Nervous sistem, dan yang lain membaur dan mengendalikan sistem saraf yang Sympathetic dan Parasympathetic Nervous Systems.
Efek dari SCI tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. SCI dapat dibagi menjadi dua jenis cedera - lengkap dan tidak lengkap. Cedera lengkap berarti bahwa tidak ada fungsi di bawah tingkat yang cedera, tidak ada sensasi dan tidak ada gerakan atau bisa dikatakan pasien sudah mengalami kelumpuhan.
Cedera tidak lengkap berarti ada beberapa fungsi di bawah tingkat dasar dari cedera. Ini brarti bahwa psien tidak mengalami kelumpuhan total dan masih mampu menggerakkan sebagian anggota tubuh. Kelumpuhan hanya terjadi pada area cedera.
2. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala pasien yang mengalami Spinal Cord Injury (SCI)
a. Sakit atau tekanan yang berat di leher, kepala. Biasanya nyeri terjadi hilang timbul
b. Geli (kesemutan) atau kehilangan sensasi di tangan, jari dan tangan
c. Kehilangan kontrol salah satu atau seluruh bagian tubuh
d. Inkontinensia urie yang mengkin disebabkan karena kelumpuhan saraf.
e. Kesulitan berjalan dengan keseimbangan
f. Abnormal band seperti sensations dalam Thorax - rasa sakit, tekanan
g. Sulit bernafas setelah cedera
h. Tidak berfungsinya saraf pada kepala atau tulang belakang
3. KLASIFIKASI
Sebelum membicarakan macam-macam cedera tulang belakan serta kord spinal secara khusus akan dibicarakan dulu secara garis besar. Harus diingat bahwa cedera tulang belakang mempunyai komponen tulang dan komponen saraf hingga pengelolaan akan ditentukan oleh faktor-faktor dari kedua aspek tersebut.
a. Cedera Tulang
1) Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak mempunyai kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi pada saat cedera. Komponen arkus neural intak, serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior, tidak robek. Cedera stabil diakibatkan oleh tenaga fleksi, ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan tersering tampak pada daerah toraks bawah serta lumbar. Fraktura baji badan ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut pada tulang belakang adalah contoh yang umum dari fraktura stabil.
2) Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih jauh. Kelainan ini disebabkan oleh adanya elemen rotary terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktura pada pedikel dan lamina, maupun oleh dislokasi sendi apofiseal.
b. Cedera Neurolis
1) Tanpa defisit neurologis
Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan neurologis.
2) Dengan defisit neurologis
Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapat lengkap dengan hilangnya fungsi dibawah tingkat cedera atau tidak lengkap. Defisit neurologis paling mungkin terjadi setelah cedera pada daerah punggung karena kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis servikal memperberat kerusakan neurologis bahkan karena cedera minor sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap leher juga bertambah karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks adalah daerah utama terjadinya fraktura patologis karena proses metastatic.
4. TEMUAN KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasusdimana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Evaluasi Klinik
Ketika pasien yang mengeluh sakit leher, meskipun mereka tidak benar-benar terjaga, atau ketika mereka telah jelas kelemahan. Kita harus mewaspadai adanya SCI, dari tanda dan gejala diatas dengan pemeriksaan radiology.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan SCI juga dapat menerima baik komputerisasi Tomography (CT scan atau CAT) dan magnetis resonansi imaging (MRI) dari tulang belakang. Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior.
3. Intensive Care Unit
Standar perawatan ICU, termasuk menjaga tekanan darah yang stabil, pemantauan fungsi cardiovascular, memastikan ventilasi yang memadai dan fungsi paru-paru, dan mencegah infeksi dan segera merawat dan komplikasi lain, adalah penting agar SCI pasien dapat mencapai hasil yang terbaik.
4. Steroid Therapy
Methylprednisolone, sebuah obat steroid, menjadi tersedia sebagai perawatan untuk SCI akut pada tahun 1990 ketika seorang multicenter percobaan klinis menunjukkan lebih neurological mengubah skor di pasien yang diberi obat di dalam delapan bulan pertama dari cedera.
6. PENGELOLAAN
Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi neurologi yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai, dan mencegah serta mengobati komplikasi serta sekuele kerusakan neural. Reduksi atas subluksasi untuk mendekompres kord spinal dan tindakan immobilisasi tulang belakang untuk melindungi kord spinal adalah merupakan dasar dari tindakan. Operasi lebih awal diindikasikan untuk dekompresi neural, fiksasi internal, atau debridemen luka terbuka. Pasien dengan kelainan patologis kompresif dan deficit neurologis tidak lengkap atau dengan defisit neurologis progresif adalah kandidat operasi dekompresi gawat darurat. Fiksasi internal elektif dilakukan pada pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligament tanpa fraktura, deformitas tulang belakang progresif, cedera yang tak dapat direduksi, fraktur yang nonunion. Mediator sekunder dari cedera adalah perubahan metabolik serta patofisiologik yang berperan terhadap progresi dari respons cedera kord spinal setelah cedera primer atau mekanikal. Cedera jaringan menyebabkan perubahan biokimia, seluler, serta perubahan jaringan yang akan menimbulkan iskemia jaringan.
Iskemia dan infarksi kord spinal pasca cedera adalah mekanisme kunci. Iskemia pasca cedera mempunyai efek lokal dan sistemik. Secara sistemik terjadi pengurangan curah jantung, hipotensi dan vasodilatasi simpatetik. Secara lokal, autoregulasi dapat hilang serta mikrosirkulasi pada dan sekitar segmen kord spinal yang cedera bias berkurang. Efek vaskuler pasca cedera harus ditindak untuk mengoptimalkan pemulihan. Ekspansi volume dan vaso-presor digunakan untuk memperbaiki keadaan normo- tensif. Aliran darah kord spinal dapat diperbaiki dengan cara ekspansi volume, steroid, nimodipin, atau dopamin. Dosis tinggi metilprednisolon (bolus 30mg/kgdiikuti 5.4mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya) yang bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera kord spinal. Penilaian keadaan neurologis setiap jam termasuk pengamatan fungsi sensori, motori dan refleks penting untuk melacak defisit yang progresif atau asenden. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi dan melacak keadaan dekompensasi merupakan hal yang vital.
a. Cedera stabil tanpa deficit neurologis
Pada kelompok ini diantaranya angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang, fraktura proses transverses dan spinosus, dll. Tindakannya simtomatik, seperti istirahat baring hingga nyeri berkurang, kemudian mobilisasi bertahap dengan fisioterapi untuk memulihkan kekuatan otot.
b. Fraktura tak stabil tanpa defisit neurologi
Bila terjadi pergeseran, fraktura memerlukan reduksi, dan posisi yang sudah lebih baik harus dipertahankan.
Metoda reduksi antaranya:
a. Traksi
Fraktura servikal paling tak stabil dapat direduksi dengan memuaskan dengan melakukan traksi pada tulang belakang servikal memakai sepit (tong) metal (seperti tong Gardner-Well atau Crutchfield) yang dipasang pada tengkorak. Beban sekitar 20 kg (tergantung tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2.5 kg pada fraktura C1) digunakan dalam mengusahakan reduksi
b. Manipulas
Dislokasi serta locking dari faset sendi apofisea servikal mungkin menghambat reduksi fraktura bila hanya semata dengan traksi. Manipulasi hati-hati leher dalam anestesi umum dapat membebaskan faset.
c.Reduksi terbuka
Kadang-kadang terhadap faset pada daerah servikal dan toraks diperlukan operasi untuk mengembalikan alignment normalnya.
Metoda immobilisasi setelahnya adalah:
a. Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester dengan pasien dapat dirawat untuk waktu yang lama dengan mempertahankan posisi yang telah direduksi bahkan saat membalik untuk memandikan atau merawat kulit.
b. Traksi tengkorak. Hanya diperlukan beban sedang untuk mempertahankan cedera leher yang sudah direduksi.
c. Plester paris dan splin eksternal lain. Pasien dengan cedera servikal nyatanya dapat dimobilisasi dengan leher disangga dengan plester paris dalam posisi memadai atau dengan splin metal yang dirancang agar kepala tetap immobil disaat pergerakan tubuh.
d. Operasi. Fusi secara bedah melintas garis fraktur dapat dilakukan. Pada tulang belakang servikal operasi dilakukan baik dari depan maupun belakang. Pada daerah toraks tulang belakang difiksasi dengan pelat metal dan tandur tulang yang menyatukan lamina dengan proses spinosus berdekatan.
c. Cedera stabil dengan defisit neurologis
Bila fraktura stabil, kerusakan neurologis diakibatkan oleh:
1. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsun terhadap kord spinal atau kerusakan vaskuler, namun dengan bagian tulang dalam konfigurasi yang lebih normal.
2. Tulang belakang sebelumnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti pada spondilosis servikal.
3. Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spinal.
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada saat pertama diperiksa.Suatu transeksi neurologis lengkap, terbaik dirawat konservatif. Pada cedera didaerah servikal, leher diimmobilisasi dengan kolar atau sepit (kaliper) dan pasien diberi metil prednisolon. Pemeriksaan lebih lanjut seperti mielografi atau MRI harus dilakukan bila pemeriksaan menunjukkan adanya potensi akan perbaikan neurologis. Kesempatan perbaikan pada pasien dengan defisit total disaat diperiksa adalah kecil dan semakin jauh bila tidak ada perbaikan dalam 48 jam. Pada cedera neurologis tak lengkap pasien juga mulanya dirawat konservatif. Bila kerusakan didasari adanya spondilosis servikal, traksi tengkorak digunakan disamping pemberian metil prednisolon. Perkiraan atas kerusakan dilakukan dan bila perbaikan terjadi dengan memuaskan, tidak ada lagi tindakan lain yang diperlukan kecuali bila spondilosis yang sudah ada sebelumnya memerlukan tindakan bedah. Bila tidak ada perbaikan atau ada perbaikan namun diikuti perburukan, dilakukan mielografi untuk menampilkan daerah fraktura yang akan didekompresi. Dengan kata lain, tindakan konservatif memungkinkan kord spinal yang rusak memperlihatkan potensinya untuk membaik dan tindakan bedah dilakukan pada saat risiko pertambahan defisit neurologis sudah dikurangi.
d. Cedera tulang tak stabil dengan defisit neurologis
Bila lesinya total, dilakukan reduksi yang diikuti dengan immobilisasi seperti halnya pada seksi 2 dengan tambahan perawatan paraplegik. Bila defisit neurologis tak lengkap, reduksi dan diikuti immobilisasi sesuai dengan jenis cederanya, dan bila diperlukan operasi, dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang sama. Setelah setiap tindakan, kebijaksanaan conservative seperti pada seksi 3 dapat diteruskan karena fraktura sekarang telah berubah dari tak stabil menjadi stabil.
7. CEDERA YANG MENYERTAI DAN KOMPLIKASI CEDERA KORD SPINAL
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.
a. Pengelolaan Hemodinamik
Bila pasien hipotensif, cari sumber perdarahannya dan atasi. Syok neurogenik mungkin tertutupi oleh syok hemoragik. Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya aliran adrenergik dari sistema saraf simpatetik pada jantung dan vaskulatur perifer setelah cedera diatas tingkat T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok neurogenik akan lebih mengganggu distribusi volume intravaskuler dari pada menyebabkan hipovolemi sejati. Atropin, dopamin, atau fenilefrin harus dipertimbangkan untuk mengobati syok neurogenik, yang tak berreaksi atas penggantian volume intravaskuler.
Syok spinal berbeda dari sindroma fisiologik syok neurogenik. Syok spinal menunjukkan kehilangan lengkap aktifitas motori, sensori dan refleks segmental dengan flaksiditas dibawah tingkat cedera. Keadaan ini mungkin berakhir setelah 6 minggu. Bila syok spinal bertahan lebih dari 24 jam, prognosis untuk ambulasi betul-betul tidak ada. Akhir dari syok spinal akan ditunjukkan oleh kembalinya refleks spinal, namun fenomena ini belum dimengerti.
Selama fase akut setelah cedera, beberapa jalur intravena perifer ukuran besar (no. 16) dan pengamat tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan resusitasi air dimulai. Bila pasiennya hipotensif dan tak berreaksi atas cairan atau produk darah intravena, kateterisasi pada arteri pulmoner merupakan pembantu diagnostik untuk membimbing manipulasi terapeutik dan untuk membedakan antara mekanisme hipovolemik, kardio-genik dan neurogenik.
b. Pengelolaan Respirator
Disfungsi respirasi bisa terjadi karena kegagalan ventilatori akibat hilangnya fungsi neural dengan paralisis muskulatur toraks. Mungkin juga karena atau eksaserbasi dari beberapa faktor parenkhimal. Tindakan terhadap kelainan patologi dan pencegahan terhadap kelainan pulmoner sekunder atau didapat sangat penting. Pembalikan tubuh berulang, perangsangan batuk, pernafasan dalam, spirometri insentif, dan pernafasan bertekanan positif yang sinambung dengan masker adalah cara mempertahankan ekspansi paru-paru atau kapasitas residual fungsional. Tekanan pernafasan positif yang sinambung dengan masker merupakan cara optimal untuk mempertahankan kapasitas residual fungsional pada pasien yang tidak diintubasi. Cara ini digunakan dalam usaha mencegah pamakaian ventilasi mekanik.
Pasien dengan saraf frenik intak (C3,4,5) dengan trauma kord spinal servikal tengah atau toraks mungkin semula tampil dengan gas darah normal dan memburuk atau mengalami dekompensata secara akut dengan kegagalan pernafasan. Hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal menimbulkan gangguan pengembangan toraks dan menyebabkan atelektasis progresif. Dada fungsinya menjadi inkompeten dan kurang compliant. Gangguan fungsi ventilatori, sekret, dan infeksi bronkhopulmoner, serta keadaan lain yang menyebabkan eksaserbasi insufisiensi respirasi haruslah ditindan efektif. Trakheostomi dilakukan bila pasien tak mungkin dilepaskan dari ventilator. Umumnya bila ventilasi diperlukan, lebih dari dua minggu.
c. Pengelolaan Nutrisional dan Gastrointestinal
Pasien dengan cedera kord spinal lengkap dan akut harus mendapatkan pemeriksaan CT scan abdomen atau lavasi peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera abdominal. Tanda dan gejala cedera abdominal mungkin tidak ada pada cedera kord spinal akibat hilangnya sensasi.
Cedera kord spinal akut, terutama pada daerah toraks dan lumbar biasanya dengan ileus akibat efek mekanik langsung atau hilangnya fungsi neural otonom. Ileusnya harus ditindak dengan suction nasogastrik, penggantian elektrolit, dan pengamatan status cairan. Walau paralisis, pasien dengan cedera kord spinal jelas dengan peningkatan tingkat metabolisme (50-100% diatas normal) dan segera menjadi katabolik. Dianjurkan terapi nutrisional dini. Pemberian dukungan nutrisi dalam 24 jam sejak cedera menunjukkan pengurangan infeksi, trombosis vena dalam, dan komplikasi katabolik. Pemberian makanan oral atau alimentasi enteral lebih disukai. Selang duodenal yang fleksibel dipasang dengan bantuan fluoroskopi bila diperkirakan perlu hiperalimentasi enteral elemental. Pasien dengan ileus atau tidak mampu mentolerasi makanan enteral harus segera mendapatkan hiperalimentasi parenteral total (TPN). Pencegahan ulkus biasanya dengan antihistamin (simetidin, ranitidin) atau antasid.
Pengosongan lambung yang terlambat sesudah cedera mungkin menyebabkan pneumonia aspirasi bila pasien mendapatkan gastric feeding. Penggunaan duodenal feeding mencegah aspirasi. Penambahan zat warna akan melacak adanya aspirasi atau refluks. Cairan makanan hipertonik, penurunan absorpsi intestinal, atau keduanya, dapat menyebabkan diare pada pasien dengan makanan enteral. Keadaan ini diatasi dengan mencoba berbagai konsentrasi formula atau dengan menambahkan difenoksilat hidrokhlorida dengan atropine sulfat (Lomotil) atau obat sejenis. Kehilangan fungsi sfingter anal ditindak bila ileus dan syok spinal berlalu. Pemberian supositoria bisakodil (Dulcolax) dengan dilatasi manual rectal memberikan rangsangan untuk kontraksi uniform untuk pengosongan "volitional".
d. Gangguan Koagulasi
Koagulopati intravaskuler diseminata jarang terjadi pada cedera kord spinal terbatas, bila dibandingkan dengan cedera kepala berat. Namun pasien paralisis mempunyai risiko besar atas terjadinya trombosis vena dalam dan emboli paru-paru. Heparin dosis mini (5000 U subkutan, 2-3 kali sehari), ranjang yang berosilasi, ekspansi volume, stoking elastik setinggi paha, stoking pneumatik anti emboli, antiplatelet serta anti koagulasi dianjurkan untuk pencegahan, namun belum ada cara yang superior.
e. Pengelolaan Genitourinari
Setelah cedera, kandung kemih menjadi atonik secara akut. Kateter Foley yang indwelling harus sejak semula digunakan untuk mengamati output cairan dan untuk mencegah distensi kandung kemih. Kateterisasi berkala kandung kemih dimulai setelah keadaan medikal pasien stabil dan dilakukan untuk mempertahankan volume kandung kencing dibawah 400ml. Kateterisasi intermiten dan bersih mengurangi risiko sistitis dan pielonefritis pada pasien dengan kandung kemih neurogenik. Antibiotik profilaktik tidak dianjurkan, namun infeksi spesifik harus segera diobati.
f. Ulkus Dekubitus
Segera terbentuk pada pasien paralisis akibat tekanan langsung pada dermal, kurangnya perfusi jaringan, dan kurangnya mobilitas. Busa atau kulit kambing penyangga tonjolan tulang, pemutaran tubuh berulang, perawatan kulit yang baik, dan ranjang berosilasi atau udara, dapat membantu pencegahan ulkus dekubitus. Pencegahan komplikasi kulit adalah sangat penting.
g. Pengelolaan Pasien Paraplegik
Penderita cacad paraplegik terbukti banyak yang dapat kembali aktif dan gembira sebagai anggota masyarakat, berperanan dirumah, dilingkungan serta dipekerjaan.
Perawatan dikelompokkan kedalam :
1. Respirasi.
Peran utama saraf frenik adalah pada tingkat C4 dan cedera servikal tengah dapat berpengaruh pada fungsi diafragma baik pada satu maupun kedua sisi. Defisit yang ditimbulkannya bisa temporer atau menetap. Pada tahap awal pasien mungkin memerlukan ventilasi dan tube endotrakheal yang dipasang sebagai tindakan gawat darurat harus diganti dengan trakheostomi sesegera mungkin. Sebagai tambahan pada pernafasan artificial adalah kemungkinan aspirasi yang efisien terhadap sekresi paru-paru dan mencegah terjadinya bronkho-pneumonia. Perbaikan keadaan neurologis memungkinkan pasien untuk dilepas dari ventilator untuk selanjutnya menutup trakheostomi.
2. Kulit.
Kulit yang anestetik pada pasien paraplegi menyebabkan sakrum, trokhanter major dan tumit cepat menjadi merah dan ulserasi bila perawatan terlantar. Pikirkan bahwa semua bed sores dapat dicegah bila tidak ada defek intrinsik pada kulit yang akan menjadi sumber luka. Pasien harus dibalik setiap dua jam dan apapun cara yang digunakan untuk mengimmobilisasi pasien pada fraktura tak stabil, harus tetap efektif saat merubah posisi.
3. Kandung kemih.
Cedera akut kord spinal mengakibatkan periode syok spinal yang berakhir dalam beberapa hari hingga beberapa minggu, disaat mana aktifitas semua refleks dibawah tingkat lesi akan menghilang. Kandung kencing berekspansi tanpa disertai adanya nyeri dengan tiadanya refleks untuk mengosongkannya hingga terjadi inkontinensia overflow dan dribbling. Bila syok spinal berlalu, aktifitas refleks pulih dan sebagian usaha untuk mengosongkan kandung kemih dimulai. Bila kauda ekuina mengalami transeksi, maka tidak ada harapan pengosongan secara refleks karena muskulatur kandung kemih terputus dari pusat refleks dikord spinal bawah.Harapan diberikan pada sebagian aktifitas otot detrusor intrinsik, digabung dengan kompresi manual yang akan mengosongkan kandung kemih secara lengkap dan teratur.
Sasaran semua cara perawatan dini kandung kemih pada pasien paraplegik adalah agar pasien dengan jalur kencing yang steril mampu mengosongkan kandung kencing secar sempurna pada selang waktu yang sesuai tanpa adanya stasis atau retensi air kencing yang mungkin akan menimbulkan hidronefrosis atau pielonefritis. Ada dua cara selain yang dijelaskan diatas untuk pengelolaan dini pada kandung kencing paraplegik:
a. Kateterisasi intermiten dilakukan dalam cara steril menggunakan teknik aseptik (sering oleh dokter) tiga kali sehari hingga refleks atau pengosongan manual yang efektif dapat dicapai.
b. Kateter indwelling kecil dan non iritan dipasang dan sistem tertutup penampungan kencing secara sinambung atau berkala dilakukan hingga risiko infeksi asenden dapat ditekan. Tindakan bedah kemudian atas leher kandung kencing serta sfingter eksternal mungkin diperlukan untuk mendapatkan pengosongan yang efektif. Bila ternyata tidak mungkin didapat dengan cara ini, mungkin perlu untuk melakukan cara lain untuk mengalirkan dan menampung air kencing seperti ureterostomi atau aliran keileal.
4. Berak.
Sasaran untuk mendapatkan pengosongan rectum teratur dan terperkirakan tanpa inkontinensia atau mendadak. Ini memerlukan tambahan diet dengan sejumla serat serta penggunaan laksatif, suppositori dan enema reguler.
5. Anggota gerak.
Penting bahwa anggota yang paralisa harus secara teratur mendapatkan pergerakan pasif untuk mencegah kekakuan sendi. Kontraktur yang disebabkan perbedaan spastisitas kelompok otot berlawanan harus dicegah dengan latihan sesuai, medikasi, akhirnya pemisahan tendo tertentu.
6. Nutrisi umum.
Perlu mempertahankan masukan berkalori tinggi untuk mencoba dan menekan akibat dari keadaan katabolik yang tak dapat dielakkan yang terjadi pada pasien bersangkutan pada masa segera setelah cedera.
8. REHABILITASI PASIEN PARAPLEGI
Rehabilitasi dan mempersiapkan pasien untuk mandiri harus dimulai segera setelah pengelolaan frakturanya memungkinkan. Keberhasilan rehabilitasi ditentukan oleh ambisi mental dan fisiknya ketingkat kenyataan tanpa kehilangan rasa kepercayaan diri dan kehormatannya.
a. Rehabilitasi fisik
Meningkatkan penggunaan kelompok otot yang berfungsi:
1) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan batang tubuh.
2) Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga hingga mereka dapat memanipulasinya dengan cara-cara tertentu.
3) Perlengkapan splint dan caliper
4) Transplantasi tendon.
b. Perbaikan mobilitas:
1) Latihan dengan kaliper dan kruk untuk pasien cedera tulang belakang bawah.
2) Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang belakang dan tungkai tak berfungsi.
3) Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
c. Rehabilitasi psikologis
Pertama dimulai agar pasien segera menerima ketidak mampuannya dan merancang kembali keinginan dan rencana. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian finansial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat, hal-hal yang menjamin dan bantuan.
d. Penerimaan dirumah
Pelebaran pintu, pengadaan ram dan bahkan perancangan kembali rumah agar memudahkan pasien dengan kursi roda. Perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur hingga menghilangkan ketergantunag pada orang lain.
e. Latihan untuk pekerjaan
Pasien yang bekerjanya duduk mungkin hanya memerlukan sedikit pengaturan. Yang bekerja dengan mobilitas yang lebih tinggi atau kerja fisik harus dilatih dalam keterampilan baru dan didaftarkan sebagai orang cacad hingga dapat kembali kepekerjaan bermanfaat.
9. TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
a. Data fokus.
1. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat.
2. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltic usus hilang.
3. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri.
4. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
5. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis.
6. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.
7. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
Keamanan : suhu yang naik turun
8. Pemeriksaan diagnostik
Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
b. Diagnosa keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt, tanda sianosis
Intervensi keperawatan :
a) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
b) Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
c) Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
d) Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.
e) Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera
f) Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
g) Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.
h) Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
i) Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
j) Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.
k) Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan
2. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
Intervensi keperawatan
a) Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
b) Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan rasa aman
c) Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
d) Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdro
e) Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
f) Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
g) Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.
3. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang
Intervensi keperawatan
a) Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
b) Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama.
c) Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.
d) Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
e) Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.
4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan
a) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
b) Observasi adanya distensi perut.
c) Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
d) Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
e) Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus
5. Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi keperawatan :
a) Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi ginjal
b) Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
c) Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.
d) Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine
6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :
a) Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer.
b) Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi penekanan kulit
c) Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit
d) Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
e) Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.
DAFTAR KEPUSTAKAAN :
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
CEDERA CORD SPINAL
1. PENGERTIAN
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada saraf tulang belakang yang menghasilkan kerugian atau fungsi diburukkan menyebabkan mobilitas atau mengurangi rasa.
Umum penyebab kerusakan adalah trauma (kecelakaan mobil, suara tembakan, jatuh, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll).
Saraf tulang belakang akan mengalami kegagalan fungsi. Pada kebanyakan orang dengan SCI, maka saraf tulang belakang yang utuh, tetapi kerusakan selular didalam akan berakibat hilangnya fungsi tulang
Meski yang cedera tulang tetapi tidak menutup kemungkinan saraf disekitar area injury mengalami kerusakan. Jadi orang mungkin bisa saja tidak mengalami kelumpuhan setelah tulang belakang stabil. Saraf tulang belakang yang sekitar 18 inci panjang dan meluas dari dasar otak, dikelilingi oleh badan-badan berhubung dgn tulang belakang, bawah bagian tengah belakang, untuk mengenai pinggang.
Urat saraf yang terletak di dalam saraf tulang belakang disebut atas motor neurons (UMNs) dan fungsi mereka adalah untuk membawa pesan bolak-balik dari otak ke saraf tulang belakang di sepanjang tulang belakang sistem. The saraf tulang belakang yang keluar dari cabang saraf tulang belakang ke bagian lain dari tubuh disebut rendah motor neurons (LMNs).
Saraf tulang belakang ini keluar dan masuk pada setiap tingkat berhubung dgn tulang belakang dan berkomunikasi dengan daerah-daerah tertentu dari tubuh. Sistem indra bagian dari LMN membawa pesan tentang sensasi dari kulit seperti sakit dan suhu, dan bagian tubuh lain dan organ-organ ke otak. Motor juga bagian dari LMN mengirim pesan dari otak ke berbagai bagian tubuh untuk melakukan tindakan seperti gerakan otot.
Saraf tulang belakang yang utama adalah bundel dari urat saraf yang membawa impulses ke dan dari otak ke bagian tubuh. The otak dan saraf tulang belakang merupakan Central Nervous System. Indra Motor dan saraf di luar sistem saraf pusat merupakan Peripheral Nervous sistem, dan yang lain membaur dan mengendalikan sistem saraf yang Sympathetic dan Parasympathetic Nervous Systems.
Efek dari SCI tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. SCI dapat dibagi menjadi dua jenis cedera - lengkap dan tidak lengkap. Cedera lengkap berarti bahwa tidak ada fungsi di bawah tingkat yang cedera, tidak ada sensasi dan tidak ada gerakan atau bisa dikatakan pasien sudah mengalami kelumpuhan.
Cedera tidak lengkap berarti ada beberapa fungsi di bawah tingkat dasar dari cedera. Ini brarti bahwa psien tidak mengalami kelumpuhan total dan masih mampu menggerakkan sebagian anggota tubuh. Kelumpuhan hanya terjadi pada area cedera.
2. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala pasien yang mengalami Spinal Cord Injury (SCI)
a. Sakit atau tekanan yang berat di leher, kepala. Biasanya nyeri terjadi hilang timbul
b. Geli (kesemutan) atau kehilangan sensasi di tangan, jari dan tangan
c. Kehilangan kontrol salah satu atau seluruh bagian tubuh
d. Inkontinensia urie yang mengkin disebabkan karena kelumpuhan saraf.
e. Kesulitan berjalan dengan keseimbangan
f. Abnormal band seperti sensations dalam Thorax - rasa sakit, tekanan
g. Sulit bernafas setelah cedera
h. Tidak berfungsinya saraf pada kepala atau tulang belakang
3. KLASIFIKASI
Sebelum membicarakan macam-macam cedera tulang belakan serta kord spinal secara khusus akan dibicarakan dulu secara garis besar. Harus diingat bahwa cedera tulang belakang mempunyai komponen tulang dan komponen saraf hingga pengelolaan akan ditentukan oleh faktor-faktor dari kedua aspek tersebut.
a. Cedera Tulang
1) Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak mempunyai kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi pada saat cedera. Komponen arkus neural intak, serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior, tidak robek. Cedera stabil diakibatkan oleh tenaga fleksi, ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan tersering tampak pada daerah toraks bawah serta lumbar. Fraktura baji badan ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut pada tulang belakang adalah contoh yang umum dari fraktura stabil.
2) Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih jauh. Kelainan ini disebabkan oleh adanya elemen rotary terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktura pada pedikel dan lamina, maupun oleh dislokasi sendi apofiseal.
b. Cedera Neurolis
1) Tanpa defisit neurologis
Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan neurologis.
2) Dengan defisit neurologis
Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapat lengkap dengan hilangnya fungsi dibawah tingkat cedera atau tidak lengkap. Defisit neurologis paling mungkin terjadi setelah cedera pada daerah punggung karena kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis servikal memperberat kerusakan neurologis bahkan karena cedera minor sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap leher juga bertambah karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks adalah daerah utama terjadinya fraktura patologis karena proses metastatic.
4. TEMUAN KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasusdimana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Evaluasi Klinik
Ketika pasien yang mengeluh sakit leher, meskipun mereka tidak benar-benar terjaga, atau ketika mereka telah jelas kelemahan. Kita harus mewaspadai adanya SCI, dari tanda dan gejala diatas dengan pemeriksaan radiology.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan SCI juga dapat menerima baik komputerisasi Tomography (CT scan atau CAT) dan magnetis resonansi imaging (MRI) dari tulang belakang. Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior.
3. Intensive Care Unit
Standar perawatan ICU, termasuk menjaga tekanan darah yang stabil, pemantauan fungsi cardiovascular, memastikan ventilasi yang memadai dan fungsi paru-paru, dan mencegah infeksi dan segera merawat dan komplikasi lain, adalah penting agar SCI pasien dapat mencapai hasil yang terbaik.
4. Steroid Therapy
Methylprednisolone, sebuah obat steroid, menjadi tersedia sebagai perawatan untuk SCI akut pada tahun 1990 ketika seorang multicenter percobaan klinis menunjukkan lebih neurological mengubah skor di pasien yang diberi obat di dalam delapan bulan pertama dari cedera.
6. PENGELOLAAN
Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi neurologi yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai, dan mencegah serta mengobati komplikasi serta sekuele kerusakan neural. Reduksi atas subluksasi untuk mendekompres kord spinal dan tindakan immobilisasi tulang belakang untuk melindungi kord spinal adalah merupakan dasar dari tindakan. Operasi lebih awal diindikasikan untuk dekompresi neural, fiksasi internal, atau debridemen luka terbuka. Pasien dengan kelainan patologis kompresif dan deficit neurologis tidak lengkap atau dengan defisit neurologis progresif adalah kandidat operasi dekompresi gawat darurat. Fiksasi internal elektif dilakukan pada pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligament tanpa fraktura, deformitas tulang belakang progresif, cedera yang tak dapat direduksi, fraktur yang nonunion. Mediator sekunder dari cedera adalah perubahan metabolik serta patofisiologik yang berperan terhadap progresi dari respons cedera kord spinal setelah cedera primer atau mekanikal. Cedera jaringan menyebabkan perubahan biokimia, seluler, serta perubahan jaringan yang akan menimbulkan iskemia jaringan.
Iskemia dan infarksi kord spinal pasca cedera adalah mekanisme kunci. Iskemia pasca cedera mempunyai efek lokal dan sistemik. Secara sistemik terjadi pengurangan curah jantung, hipotensi dan vasodilatasi simpatetik. Secara lokal, autoregulasi dapat hilang serta mikrosirkulasi pada dan sekitar segmen kord spinal yang cedera bias berkurang. Efek vaskuler pasca cedera harus ditindak untuk mengoptimalkan pemulihan. Ekspansi volume dan vaso-presor digunakan untuk memperbaiki keadaan normo- tensif. Aliran darah kord spinal dapat diperbaiki dengan cara ekspansi volume, steroid, nimodipin, atau dopamin. Dosis tinggi metilprednisolon (bolus 30mg/kgdiikuti 5.4mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya) yang bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera kord spinal. Penilaian keadaan neurologis setiap jam termasuk pengamatan fungsi sensori, motori dan refleks penting untuk melacak defisit yang progresif atau asenden. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi dan melacak keadaan dekompensasi merupakan hal yang vital.
a. Cedera stabil tanpa deficit neurologis
Pada kelompok ini diantaranya angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang, fraktura proses transverses dan spinosus, dll. Tindakannya simtomatik, seperti istirahat baring hingga nyeri berkurang, kemudian mobilisasi bertahap dengan fisioterapi untuk memulihkan kekuatan otot.
b. Fraktura tak stabil tanpa defisit neurologi
Bila terjadi pergeseran, fraktura memerlukan reduksi, dan posisi yang sudah lebih baik harus dipertahankan.
Metoda reduksi antaranya:
a. Traksi
Fraktura servikal paling tak stabil dapat direduksi dengan memuaskan dengan melakukan traksi pada tulang belakang servikal memakai sepit (tong) metal (seperti tong Gardner-Well atau Crutchfield) yang dipasang pada tengkorak. Beban sekitar 20 kg (tergantung tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2.5 kg pada fraktura C1) digunakan dalam mengusahakan reduksi
b. Manipulas
Dislokasi serta locking dari faset sendi apofisea servikal mungkin menghambat reduksi fraktura bila hanya semata dengan traksi. Manipulasi hati-hati leher dalam anestesi umum dapat membebaskan faset.
c.Reduksi terbuka
Kadang-kadang terhadap faset pada daerah servikal dan toraks diperlukan operasi untuk mengembalikan alignment normalnya.
Metoda immobilisasi setelahnya adalah:
a. Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester dengan pasien dapat dirawat untuk waktu yang lama dengan mempertahankan posisi yang telah direduksi bahkan saat membalik untuk memandikan atau merawat kulit.
b. Traksi tengkorak. Hanya diperlukan beban sedang untuk mempertahankan cedera leher yang sudah direduksi.
c. Plester paris dan splin eksternal lain. Pasien dengan cedera servikal nyatanya dapat dimobilisasi dengan leher disangga dengan plester paris dalam posisi memadai atau dengan splin metal yang dirancang agar kepala tetap immobil disaat pergerakan tubuh.
d. Operasi. Fusi secara bedah melintas garis fraktur dapat dilakukan. Pada tulang belakang servikal operasi dilakukan baik dari depan maupun belakang. Pada daerah toraks tulang belakang difiksasi dengan pelat metal dan tandur tulang yang menyatukan lamina dengan proses spinosus berdekatan.
c. Cedera stabil dengan defisit neurologis
Bila fraktura stabil, kerusakan neurologis diakibatkan oleh:
1. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsun terhadap kord spinal atau kerusakan vaskuler, namun dengan bagian tulang dalam konfigurasi yang lebih normal.
2. Tulang belakang sebelumnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti pada spondilosis servikal.
3. Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spinal.
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada saat pertama diperiksa.Suatu transeksi neurologis lengkap, terbaik dirawat konservatif. Pada cedera didaerah servikal, leher diimmobilisasi dengan kolar atau sepit (kaliper) dan pasien diberi metil prednisolon. Pemeriksaan lebih lanjut seperti mielografi atau MRI harus dilakukan bila pemeriksaan menunjukkan adanya potensi akan perbaikan neurologis. Kesempatan perbaikan pada pasien dengan defisit total disaat diperiksa adalah kecil dan semakin jauh bila tidak ada perbaikan dalam 48 jam. Pada cedera neurologis tak lengkap pasien juga mulanya dirawat konservatif. Bila kerusakan didasari adanya spondilosis servikal, traksi tengkorak digunakan disamping pemberian metil prednisolon. Perkiraan atas kerusakan dilakukan dan bila perbaikan terjadi dengan memuaskan, tidak ada lagi tindakan lain yang diperlukan kecuali bila spondilosis yang sudah ada sebelumnya memerlukan tindakan bedah. Bila tidak ada perbaikan atau ada perbaikan namun diikuti perburukan, dilakukan mielografi untuk menampilkan daerah fraktura yang akan didekompresi. Dengan kata lain, tindakan konservatif memungkinkan kord spinal yang rusak memperlihatkan potensinya untuk membaik dan tindakan bedah dilakukan pada saat risiko pertambahan defisit neurologis sudah dikurangi.
d. Cedera tulang tak stabil dengan defisit neurologis
Bila lesinya total, dilakukan reduksi yang diikuti dengan immobilisasi seperti halnya pada seksi 2 dengan tambahan perawatan paraplegik. Bila defisit neurologis tak lengkap, reduksi dan diikuti immobilisasi sesuai dengan jenis cederanya, dan bila diperlukan operasi, dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang sama. Setelah setiap tindakan, kebijaksanaan conservative seperti pada seksi 3 dapat diteruskan karena fraktura sekarang telah berubah dari tak stabil menjadi stabil.
7. CEDERA YANG MENYERTAI DAN KOMPLIKASI CEDERA KORD SPINAL
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.
a. Pengelolaan Hemodinamik
Bila pasien hipotensif, cari sumber perdarahannya dan atasi. Syok neurogenik mungkin tertutupi oleh syok hemoragik. Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya aliran adrenergik dari sistema saraf simpatetik pada jantung dan vaskulatur perifer setelah cedera diatas tingkat T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok neurogenik akan lebih mengganggu distribusi volume intravaskuler dari pada menyebabkan hipovolemi sejati. Atropin, dopamin, atau fenilefrin harus dipertimbangkan untuk mengobati syok neurogenik, yang tak berreaksi atas penggantian volume intravaskuler.
Syok spinal berbeda dari sindroma fisiologik syok neurogenik. Syok spinal menunjukkan kehilangan lengkap aktifitas motori, sensori dan refleks segmental dengan flaksiditas dibawah tingkat cedera. Keadaan ini mungkin berakhir setelah 6 minggu. Bila syok spinal bertahan lebih dari 24 jam, prognosis untuk ambulasi betul-betul tidak ada. Akhir dari syok spinal akan ditunjukkan oleh kembalinya refleks spinal, namun fenomena ini belum dimengerti.
Selama fase akut setelah cedera, beberapa jalur intravena perifer ukuran besar (no. 16) dan pengamat tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan resusitasi air dimulai. Bila pasiennya hipotensif dan tak berreaksi atas cairan atau produk darah intravena, kateterisasi pada arteri pulmoner merupakan pembantu diagnostik untuk membimbing manipulasi terapeutik dan untuk membedakan antara mekanisme hipovolemik, kardio-genik dan neurogenik.
b. Pengelolaan Respirator
Disfungsi respirasi bisa terjadi karena kegagalan ventilatori akibat hilangnya fungsi neural dengan paralisis muskulatur toraks. Mungkin juga karena atau eksaserbasi dari beberapa faktor parenkhimal. Tindakan terhadap kelainan patologi dan pencegahan terhadap kelainan pulmoner sekunder atau didapat sangat penting. Pembalikan tubuh berulang, perangsangan batuk, pernafasan dalam, spirometri insentif, dan pernafasan bertekanan positif yang sinambung dengan masker adalah cara mempertahankan ekspansi paru-paru atau kapasitas residual fungsional. Tekanan pernafasan positif yang sinambung dengan masker merupakan cara optimal untuk mempertahankan kapasitas residual fungsional pada pasien yang tidak diintubasi. Cara ini digunakan dalam usaha mencegah pamakaian ventilasi mekanik.
Pasien dengan saraf frenik intak (C3,4,5) dengan trauma kord spinal servikal tengah atau toraks mungkin semula tampil dengan gas darah normal dan memburuk atau mengalami dekompensata secara akut dengan kegagalan pernafasan. Hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal menimbulkan gangguan pengembangan toraks dan menyebabkan atelektasis progresif. Dada fungsinya menjadi inkompeten dan kurang compliant. Gangguan fungsi ventilatori, sekret, dan infeksi bronkhopulmoner, serta keadaan lain yang menyebabkan eksaserbasi insufisiensi respirasi haruslah ditindan efektif. Trakheostomi dilakukan bila pasien tak mungkin dilepaskan dari ventilator. Umumnya bila ventilasi diperlukan, lebih dari dua minggu.
c. Pengelolaan Nutrisional dan Gastrointestinal
Pasien dengan cedera kord spinal lengkap dan akut harus mendapatkan pemeriksaan CT scan abdomen atau lavasi peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera abdominal. Tanda dan gejala cedera abdominal mungkin tidak ada pada cedera kord spinal akibat hilangnya sensasi.
Cedera kord spinal akut, terutama pada daerah toraks dan lumbar biasanya dengan ileus akibat efek mekanik langsung atau hilangnya fungsi neural otonom. Ileusnya harus ditindak dengan suction nasogastrik, penggantian elektrolit, dan pengamatan status cairan. Walau paralisis, pasien dengan cedera kord spinal jelas dengan peningkatan tingkat metabolisme (50-100% diatas normal) dan segera menjadi katabolik. Dianjurkan terapi nutrisional dini. Pemberian dukungan nutrisi dalam 24 jam sejak cedera menunjukkan pengurangan infeksi, trombosis vena dalam, dan komplikasi katabolik. Pemberian makanan oral atau alimentasi enteral lebih disukai. Selang duodenal yang fleksibel dipasang dengan bantuan fluoroskopi bila diperkirakan perlu hiperalimentasi enteral elemental. Pasien dengan ileus atau tidak mampu mentolerasi makanan enteral harus segera mendapatkan hiperalimentasi parenteral total (TPN). Pencegahan ulkus biasanya dengan antihistamin (simetidin, ranitidin) atau antasid.
Pengosongan lambung yang terlambat sesudah cedera mungkin menyebabkan pneumonia aspirasi bila pasien mendapatkan gastric feeding. Penggunaan duodenal feeding mencegah aspirasi. Penambahan zat warna akan melacak adanya aspirasi atau refluks. Cairan makanan hipertonik, penurunan absorpsi intestinal, atau keduanya, dapat menyebabkan diare pada pasien dengan makanan enteral. Keadaan ini diatasi dengan mencoba berbagai konsentrasi formula atau dengan menambahkan difenoksilat hidrokhlorida dengan atropine sulfat (Lomotil) atau obat sejenis. Kehilangan fungsi sfingter anal ditindak bila ileus dan syok spinal berlalu. Pemberian supositoria bisakodil (Dulcolax) dengan dilatasi manual rectal memberikan rangsangan untuk kontraksi uniform untuk pengosongan "volitional".
d. Gangguan Koagulasi
Koagulopati intravaskuler diseminata jarang terjadi pada cedera kord spinal terbatas, bila dibandingkan dengan cedera kepala berat. Namun pasien paralisis mempunyai risiko besar atas terjadinya trombosis vena dalam dan emboli paru-paru. Heparin dosis mini (5000 U subkutan, 2-3 kali sehari), ranjang yang berosilasi, ekspansi volume, stoking elastik setinggi paha, stoking pneumatik anti emboli, antiplatelet serta anti koagulasi dianjurkan untuk pencegahan, namun belum ada cara yang superior.
e. Pengelolaan Genitourinari
Setelah cedera, kandung kemih menjadi atonik secara akut. Kateter Foley yang indwelling harus sejak semula digunakan untuk mengamati output cairan dan untuk mencegah distensi kandung kemih. Kateterisasi berkala kandung kemih dimulai setelah keadaan medikal pasien stabil dan dilakukan untuk mempertahankan volume kandung kencing dibawah 400ml. Kateterisasi intermiten dan bersih mengurangi risiko sistitis dan pielonefritis pada pasien dengan kandung kemih neurogenik. Antibiotik profilaktik tidak dianjurkan, namun infeksi spesifik harus segera diobati.
f. Ulkus Dekubitus
Segera terbentuk pada pasien paralisis akibat tekanan langsung pada dermal, kurangnya perfusi jaringan, dan kurangnya mobilitas. Busa atau kulit kambing penyangga tonjolan tulang, pemutaran tubuh berulang, perawatan kulit yang baik, dan ranjang berosilasi atau udara, dapat membantu pencegahan ulkus dekubitus. Pencegahan komplikasi kulit adalah sangat penting.
g. Pengelolaan Pasien Paraplegik
Penderita cacad paraplegik terbukti banyak yang dapat kembali aktif dan gembira sebagai anggota masyarakat, berperanan dirumah, dilingkungan serta dipekerjaan.
Perawatan dikelompokkan kedalam :
1. Respirasi.
Peran utama saraf frenik adalah pada tingkat C4 dan cedera servikal tengah dapat berpengaruh pada fungsi diafragma baik pada satu maupun kedua sisi. Defisit yang ditimbulkannya bisa temporer atau menetap. Pada tahap awal pasien mungkin memerlukan ventilasi dan tube endotrakheal yang dipasang sebagai tindakan gawat darurat harus diganti dengan trakheostomi sesegera mungkin. Sebagai tambahan pada pernafasan artificial adalah kemungkinan aspirasi yang efisien terhadap sekresi paru-paru dan mencegah terjadinya bronkho-pneumonia. Perbaikan keadaan neurologis memungkinkan pasien untuk dilepas dari ventilator untuk selanjutnya menutup trakheostomi.
2. Kulit.
Kulit yang anestetik pada pasien paraplegi menyebabkan sakrum, trokhanter major dan tumit cepat menjadi merah dan ulserasi bila perawatan terlantar. Pikirkan bahwa semua bed sores dapat dicegah bila tidak ada defek intrinsik pada kulit yang akan menjadi sumber luka. Pasien harus dibalik setiap dua jam dan apapun cara yang digunakan untuk mengimmobilisasi pasien pada fraktura tak stabil, harus tetap efektif saat merubah posisi.
3. Kandung kemih.
Cedera akut kord spinal mengakibatkan periode syok spinal yang berakhir dalam beberapa hari hingga beberapa minggu, disaat mana aktifitas semua refleks dibawah tingkat lesi akan menghilang. Kandung kencing berekspansi tanpa disertai adanya nyeri dengan tiadanya refleks untuk mengosongkannya hingga terjadi inkontinensia overflow dan dribbling. Bila syok spinal berlalu, aktifitas refleks pulih dan sebagian usaha untuk mengosongkan kandung kemih dimulai. Bila kauda ekuina mengalami transeksi, maka tidak ada harapan pengosongan secara refleks karena muskulatur kandung kemih terputus dari pusat refleks dikord spinal bawah.Harapan diberikan pada sebagian aktifitas otot detrusor intrinsik, digabung dengan kompresi manual yang akan mengosongkan kandung kemih secara lengkap dan teratur.
Sasaran semua cara perawatan dini kandung kemih pada pasien paraplegik adalah agar pasien dengan jalur kencing yang steril mampu mengosongkan kandung kencing secar sempurna pada selang waktu yang sesuai tanpa adanya stasis atau retensi air kencing yang mungkin akan menimbulkan hidronefrosis atau pielonefritis. Ada dua cara selain yang dijelaskan diatas untuk pengelolaan dini pada kandung kencing paraplegik:
a. Kateterisasi intermiten dilakukan dalam cara steril menggunakan teknik aseptik (sering oleh dokter) tiga kali sehari hingga refleks atau pengosongan manual yang efektif dapat dicapai.
b. Kateter indwelling kecil dan non iritan dipasang dan sistem tertutup penampungan kencing secara sinambung atau berkala dilakukan hingga risiko infeksi asenden dapat ditekan. Tindakan bedah kemudian atas leher kandung kencing serta sfingter eksternal mungkin diperlukan untuk mendapatkan pengosongan yang efektif. Bila ternyata tidak mungkin didapat dengan cara ini, mungkin perlu untuk melakukan cara lain untuk mengalirkan dan menampung air kencing seperti ureterostomi atau aliran keileal.
4. Berak.
Sasaran untuk mendapatkan pengosongan rectum teratur dan terperkirakan tanpa inkontinensia atau mendadak. Ini memerlukan tambahan diet dengan sejumla serat serta penggunaan laksatif, suppositori dan enema reguler.
5. Anggota gerak.
Penting bahwa anggota yang paralisa harus secara teratur mendapatkan pergerakan pasif untuk mencegah kekakuan sendi. Kontraktur yang disebabkan perbedaan spastisitas kelompok otot berlawanan harus dicegah dengan latihan sesuai, medikasi, akhirnya pemisahan tendo tertentu.
6. Nutrisi umum.
Perlu mempertahankan masukan berkalori tinggi untuk mencoba dan menekan akibat dari keadaan katabolik yang tak dapat dielakkan yang terjadi pada pasien bersangkutan pada masa segera setelah cedera.
8. REHABILITASI PASIEN PARAPLEGI
Rehabilitasi dan mempersiapkan pasien untuk mandiri harus dimulai segera setelah pengelolaan frakturanya memungkinkan. Keberhasilan rehabilitasi ditentukan oleh ambisi mental dan fisiknya ketingkat kenyataan tanpa kehilangan rasa kepercayaan diri dan kehormatannya.
a. Rehabilitasi fisik
Meningkatkan penggunaan kelompok otot yang berfungsi:
1) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan batang tubuh.
2) Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga hingga mereka dapat memanipulasinya dengan cara-cara tertentu.
3) Perlengkapan splint dan caliper
4) Transplantasi tendon.
b. Perbaikan mobilitas:
1) Latihan dengan kaliper dan kruk untuk pasien cedera tulang belakang bawah.
2) Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang belakang dan tungkai tak berfungsi.
3) Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
c. Rehabilitasi psikologis
Pertama dimulai agar pasien segera menerima ketidak mampuannya dan merancang kembali keinginan dan rencana. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian finansial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat, hal-hal yang menjamin dan bantuan.
d. Penerimaan dirumah
Pelebaran pintu, pengadaan ram dan bahkan perancangan kembali rumah agar memudahkan pasien dengan kursi roda. Perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur hingga menghilangkan ketergantunag pada orang lain.
e. Latihan untuk pekerjaan
Pasien yang bekerjanya duduk mungkin hanya memerlukan sedikit pengaturan. Yang bekerja dengan mobilitas yang lebih tinggi atau kerja fisik harus dilatih dalam keterampilan baru dan didaftarkan sebagai orang cacad hingga dapat kembali kepekerjaan bermanfaat.
9. TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
a. Data fokus.
1. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat.
2. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltic usus hilang.
3. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri.
4. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
5. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis.
6. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.
7. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
Keamanan : suhu yang naik turun
8. Pemeriksaan diagnostik
Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
b. Diagnosa keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt, tanda sianosis
Intervensi keperawatan :
a) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
b) Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
c) Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
d) Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.
e) Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera
f) Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
g) Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.
h) Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
i) Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
j) Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.
k) Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan
2. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
Intervensi keperawatan
a) Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
b) Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan rasa aman
c) Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
d) Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdro
e) Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
f) Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
g) Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.
3. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang
Intervensi keperawatan
a) Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
b) Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama.
c) Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.
d) Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
e) Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.
4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan
a) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
b) Observasi adanya distensi perut.
c) Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
d) Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
e) Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus
5. Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi keperawatan :
a) Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi ginjal
b) Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
c) Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.
d) Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine
6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :
a) Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer.
b) Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi penekanan kulit
c) Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit
d) Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
e) Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.
DAFTAR KEPUSTAKAAN :
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Keperawatan Jiwa
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN
DENGAN PERUBAHAN SENSORI PERSEPSI (SPESIFIK : VISUAL, AUDITORI, KINESTETIK, PENGECAPAN, TAKTIL, PENCIUMAN)
I. Kajian Teori
A. Pengertian
Halusinasi adalah pengalaman tanpa ransang external (Cook dan Fontaine, 1987). Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa dari seluruh pasien diantaranya mengalami halusinasi.Gangguan jiwa lain yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan maniak degresif dan aterium.
B. Jenis – Jenis halusinasi
Ada beberapa jenis halusinasi, Stuart dan Larara 1908 membagi halusinasi menjadi 7 jenis yaitu :
1. Halusinasi Pendengaran
Karakteristinya meliputi mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien bahkan sampai ke percakapan lengkap antara 2 orang atau lebih tentang orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh melakukan sesuatu yang kadang-kadang dapat membahayakan.
2. Halusinasi Penglihatan
Karakteristiknya meliputi stimulus visual dalam bentuk kuatan cahaya, gambar geometrik, gambar kartoon, bayangan yang rumit atau kompleks, bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
3. Halusinasi Penghidu
Karakteristiknya meliputi membaui bau tertentu seperti bau darah, kemenyan atau faeces yang umumnya tidak menyenangkan.
4. Halusinasi Pengcapan
Merasa mengecap, seperti rasa darah, urine, dan faeces
5. Halusinasi Derabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan berupa stimulus yang jelas, rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang.
6. Halusinasi Cenesthehe
Dimana klien merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine.
7. Halusinasi Kinestetic
Merasakan pergerakan sementara, berdiri tanpa bergerak
C. Proses terjadinya Halusinasi
Halusinasi berkembang menjadi 4 fase (Habes, dkk, 1902):
1. Fase pertama (conforting)
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stres, perasaan yang terpisah, kesepian klien mungkin melamun atau memfokuskan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menglilangkan kecemasan dan stres. Cara ini menolong untuk sementara.
2. Fase kedua (condeming)
Pencemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal. Klien berada pada tingkat “ Listening” pada halusinasi. Pemikian internal menjadi menonjol. Gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas. Klien takut apabila orang lain mendengar dan klien tidak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain atau tempat lain.
3. Fase Ketiga
Halusinasi menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman yang sementara.
4. Fase Keempat (conquerting)
Klien merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya. Klien mungkin berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu yang singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
D. Pohon masalah
II. Asuhan Keperawatan
A. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
1. Faktor Predisposisi
Kaji faktor predisposisi yang pada munculnya biologi seperti pada halusinasi antara lain :
a. Faktor genetis
b. Faktor neurobiologi
c. Faktor neurotransiniter
d. Teori virus
e. Psikologi
2. Faktor Presipitasi
Kaji gejala-gejala pencetus neurobiologis meliputi :
a. Kesehatan : nutrisi kurang, kurang tidur, kelelahan, infeksi, obat ssp, hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
b. Lingkungan : lingkungan yang memasuki, masalah di rumah tangga, sosial, tekanan kerja, kurangnya dukungan sosial, kehilangan kebebasan hidup.
c. Sikap/ prilaku merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa merasa gagal, kehilangan rendah diri, merasa malang, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan
3. Mekanisme Koping
Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien, meliputi :
a. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
b. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
c. Menarik Diri : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus internal
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
Ketahui tentang halusinasi klien meliputi :
Isi halusinasi yang dialami klien
Waktu dan frekuensi halusinasi
Situasi pencetus halusinasi
Respon klien tentang halusinasinya
DENGAN PERUBAHAN SENSORI PERSEPSI (SPESIFIK : VISUAL, AUDITORI, KINESTETIK, PENGECAPAN, TAKTIL, PENCIUMAN)
I. Kajian Teori
A. Pengertian
Halusinasi adalah pengalaman tanpa ransang external (Cook dan Fontaine, 1987). Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa dari seluruh pasien diantaranya mengalami halusinasi.Gangguan jiwa lain yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan maniak degresif dan aterium.
B. Jenis – Jenis halusinasi
Ada beberapa jenis halusinasi, Stuart dan Larara 1908 membagi halusinasi menjadi 7 jenis yaitu :
1. Halusinasi Pendengaran
Karakteristinya meliputi mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien bahkan sampai ke percakapan lengkap antara 2 orang atau lebih tentang orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh melakukan sesuatu yang kadang-kadang dapat membahayakan.
2. Halusinasi Penglihatan
Karakteristiknya meliputi stimulus visual dalam bentuk kuatan cahaya, gambar geometrik, gambar kartoon, bayangan yang rumit atau kompleks, bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
3. Halusinasi Penghidu
Karakteristiknya meliputi membaui bau tertentu seperti bau darah, kemenyan atau faeces yang umumnya tidak menyenangkan.
4. Halusinasi Pengcapan
Merasa mengecap, seperti rasa darah, urine, dan faeces
5. Halusinasi Derabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan berupa stimulus yang jelas, rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang.
6. Halusinasi Cenesthehe
Dimana klien merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine.
7. Halusinasi Kinestetic
Merasakan pergerakan sementara, berdiri tanpa bergerak
C. Proses terjadinya Halusinasi
Halusinasi berkembang menjadi 4 fase (Habes, dkk, 1902):
1. Fase pertama (conforting)
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stres, perasaan yang terpisah, kesepian klien mungkin melamun atau memfokuskan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menglilangkan kecemasan dan stres. Cara ini menolong untuk sementara.
2. Fase kedua (condeming)
Pencemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal. Klien berada pada tingkat “ Listening” pada halusinasi. Pemikian internal menjadi menonjol. Gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas. Klien takut apabila orang lain mendengar dan klien tidak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain atau tempat lain.
3. Fase Ketiga
Halusinasi menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman yang sementara.
4. Fase Keempat (conquerting)
Klien merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya. Klien mungkin berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu yang singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
D. Pohon masalah
II. Asuhan Keperawatan
A. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
1. Faktor Predisposisi
Kaji faktor predisposisi yang pada munculnya biologi seperti pada halusinasi antara lain :
a. Faktor genetis
b. Faktor neurobiologi
c. Faktor neurotransiniter
d. Teori virus
e. Psikologi
2. Faktor Presipitasi
Kaji gejala-gejala pencetus neurobiologis meliputi :
a. Kesehatan : nutrisi kurang, kurang tidur, kelelahan, infeksi, obat ssp, hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
b. Lingkungan : lingkungan yang memasuki, masalah di rumah tangga, sosial, tekanan kerja, kurangnya dukungan sosial, kehilangan kebebasan hidup.
c. Sikap/ prilaku merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa merasa gagal, kehilangan rendah diri, merasa malang, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan
3. Mekanisme Koping
Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien, meliputi :
a. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
b. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
c. Menarik Diri : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus internal
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
Ketahui tentang halusinasi klien meliputi :
Isi halusinasi yang dialami klien
Waktu dan frekuensi halusinasi
Situasi pencetus halusinasi
Respon klien tentang halusinasinya
Langganan:
Postingan (Atom)